Malam ini sangat melelahkan plus
menyenangkan. Aku baru saja mengikuti sebuah pesta besar di sebuah kampung yang
jaraknya cukup jauh dari tempat tinggalku, atau lebih tepatnya di sebuah
asrama. Pesta yang diadakan untuk memperingati hari ulang tahun anak perempuan
kepala desa. Ia begitu mempesona dengan gaun putih yang dikenakan. Memakai
mahkota ala princess dengan rambut
terurai rapi ke bawah. Senyumannya begitu manis, semanis madu saat diteguk dan
langsung memikat hatiku. Bukan aku saja, tapi semua orang yang ada di saat itu.
Apa lagi di saat ia meniupkan lilin dan kemudian menatapku untuk beberapa saat.
Aku membalas tatapannya dengan senyuman sekaligus menerka sinyal yang coba ia
kirimkan kepadaku.
"Apa ini?"
Lagu selamat hari ulang tahun pun
berkumandang. Aku berjalan menghampirinya. Aku terus saja memuji sosok wanita
yang saat ini berdiri di hadapanku. Ia bagai bidadari yang turun dari langit.
Bidadari yang tersesat dan ingin mencari jalan untuk pulang. Namanya Anggun,
tertera begitu rapi di atas kue ulang tahunnya. Nama yang sekaligus menggambarkan
kepribadiannya.
"Cocok" gumamku dalam
hati.
Aku lalu berjabatan tangan
dengannya, sekaligus memberinya ucapan selamat. Aku berharap, apa yang selalu
ia impikan dapat terwujud. Tangannya halus sekali. Rasanya tak mau
melepaskannya lagi. Namun segerombolan manusia yang sementara antre memaksaku
untuk harus segera meninggalkannya.
"Apa kita bisa berjumpa
lagi?" bahtin ku bertanya. Harapanku semoga saja iya. Aku belum sempat
memperkenalkan namaku padanya.
Tiba-tiba perutku menjadi sangat
sakit. Mungkin ini disebabkan oleh daging ayam yang ku santap tadi. Aku terlalu
banyak makan saat di pesta. Aku berlari sekuat tenaga menuju toilet yang berada
di ujung koridor. Lega rasanya setelah mengeluarkan beban yang membuatku
tersiksa. Beban yang jika ditahan terlalu lama maka bisa meracuniku sendiri.
Aku hanya seorang diri di situ. Teman-temanku yang lain sedang berkumpul di
aula. Aku mendengar suara motor lewat, tak berapa lama terdengar suara anak
kecil yang sepertinya minta untuk
digendong. Tapi, tiba-tiba terdengar sebuah tawa. Tawa yang membelah
keheninganku dalam sekejab. Tawa yang perlahan dan lama-lama membumbung tinggi
di udara. Melengking di telingaku. Aku menjadi takut.
"Suara apa ini? Apa ini
hantu?"
Aku tak tahu. Yang jelas hanya ada
aku seorang diri di sana, bersama sebuah bola lampu yang menerangiku dari
gelapnya malam yang mencekamkam ini. Suara itu masih terdengar, bahkan kali ini
lebih dekat denganku. Sepertinya ia telah ada di dalam ruangan bersama dengan
ku.
"Hi.... Hii.... Hiii"
Suara itu menggema di dalam
ruangan, membuat telingaku menjadi sakit. Aku kemudian cepat-cepat berlari ke
luar tanpa menoleh ke belakang. Ku dobrak pintu yang menghalangi jalanku.
Nafasku kini mulai tak beraturan. Aku seperti baru saja mengikuti lomba lari
100 m.
"Tadi itu apa? Dan siapa
pemilik suara itu? Apa hubungannya dengan diriku?"
Aku jadi ingin tahu, tapi
ketakutan yang mengalir di dalam diriku membuatku tak punya nyali untuk kembali
ke sana lagi. Biarlah ini menjadi rahasiaku seorang diri.
Aku berjalan ke arah teman-temanku.
Ku pasang senyum manis yang menyembunyikan kenyataan yang baru saja terjadi
padaku. Aku tak mau seorangpun yang tahu tentang hal ini.
"Kamu lama banget? Lagi nyari
harta karun di sana ya?" sindir Toni.
"Ya nggak lah? Enak aja kamu
bilang gitu?" jawabku.
"Atau kamu lagi mikirin
Anggun di sana ya?" ejek Vian.
"Sok tau kamu! Terserah deh
kalian mau ngomong apa aja. Aku tadi di sana cuma buang air besar, jelas?"
balasku lalu pergi meninggalkan mereka berdua.
-----
Keesokan malam, aku hanya berdiam
diri di tempat tidur. Mendengarkan lagu-lagu terbaru di stasiun radio
favoritku. Headset terpasang dengan baik di kedua telingaku. Aku mulai
bernyanyi sendiri. Ku bayangkan diriku sendiri yang sedang bernyanyi di hadapan
puluhan ribu penonton dan fans ku. Sebenarnya, kami dilarang membawa
barang-barang elektronik ke asrama. Tapi, aku membawanya secara diam-diam. Aku
merasa perlu, karena dengan begitu aku bisa mendengar perkembangan terbaru dari
dunia luar. Kalau tidak, yang ada aku menjadi orang yang sama sekali
ketinggalan dengan informasi. Lagi pula, aku dan teman-teman sama sekali tidak
pernah menonton TV saat kami tinggal di asrama ini.
Aku lalu menutup mata. Tak tahu
berapa lama aku tertidur. Kemudian aku bangun kembali. Hanya gelap yang ku
dapat. Aku jadi tak bisa melihat apa-apa. Ku ambil senter kecilku, kemudian ku
terangi ruangan besar ini. Ternyata sudah waktunya untuk istirahat. Anak-anak
kelihatan tidur begitu lelap, sampai mereka tak menyadari bahwa lampu ruangan
tidak menyala, alias mati lampu. Di saat ingin ku tarik selimut sebagai
penghangat di malam yang dingin itu, muncullah seseorang di hadapanku.
Seseorang yang kepalanya berlumuran darah. Darah yang begitu segar. Sepertinya
dia baru saja membunuh seseorang dan kini dia mengincarku sebagai korban
sembelihan berikutnya. Kepalanya botak mengkilap di saat sinar bulan berhasil
mengenai kepalanya. Aku kemudian menginjaknya dan kemudian ia terlempar dari
tempat tidurku yang ketinggiannya mencapai 2 m.
"Joni... Joni... Bangun
Jon..!!" ku bangunkan Joni yang tidur di samping kiriku dengan panik. Aku
harap dia segera bangun. Tapi apa yang ku lakukan sama sekali tidak berguna. Ia
seperti telah dibius dan kini tak bisa merasakan apa-apa lagi.
"Tolong... Tolong...!!"
teriakku sekuat mungkin untuk meminta pertolongan, namun tak ada yang terjaga
dari tidurnya. Aku beranikan diri untuk menatap ke bawah. Melihat apakah orang
yang tadi ku tendang masih tergeletak di sana atau tidak. Aku tak melihat
apa-apa. Ku alihkan senter ke berbagai tempat, namun sama saja.
"Aneh, padahal ini belum
terlalu lama"
Aku lalu turun untuk
memastikannya.
"Pasti darah segar masih ada
di sekitar sini"
Kemudian aku mencarinya dengan
cahaya senter milikku. Namun nihil. Aku bagai mencari jejak di atas air. Ini
sama sekali tidak masuk di akal.
Aku kembali ke tempat tidur.
Menarik selimut lalu menutupi diriku. Sebenarnya aku masih ketakutan, tapi ku
coba untuk hilangkan semua itu. Di saat ingin ku tutup mata, ku rasakan sesuatu
yang lewat.
"Apa lagi ini?"
Baru saja sesuatu yang aneh
terjadi, muncul kejadian yang baru lagi. Aku coba mengintip dari baliknya
selimut yang ku pakai. Sesuatu berbentuk manusia. Tingginya mencapai 3 meter,
hampir sama tinggi dengan bangunan ini. Rambutnya putih memanjang. Berjalan
menyusuri koridor.
"Siapa gerangan?"
Aku tak sanggup mendekatinya. Aku
lebih memilih diam di tempat dan mengamatinya dari kejauhan.
"Apa mungkin dia hantu?"
tanyaku penasaran.
Kini ia mendekati pintu keluar.
Dan apa yang terjadi?
Pintu itu terbuka dengan
sendirinya. Tanpa ia sentuh sedikitpun. Sungguh menakjubkan. Aku terkesan
dibuatnya. Aku terbelalak. Setelah kakinya menyentuh teras bagian luar, pintu
itu tertutup dengan sendirinya lagi.
Aku bangun seketika lalu berjalan
keluar untuk mengikutinya. Tapi ia hilang tanpa meninggalkan jejak. Aku
benar-benar kehilangan dia.
"Tadi itu siapa? Apa dia
penjaga asrama?" aku coba menerka-nerka.
"Tapi, tidak mungkin dia
orangnya. Dia belum pernah terlihat semenjak aku tinggal di asrama ini!"
Aku terus saja bertanya pada
diriku sendiri, tapi sama sekali tidak ku temukan satu jawaban pun yang dapat
mengunkapkan identitasnya. Aku terdiam. Hal-hal aneh mulai terjadi belakangan
ini pada diriku. Aku menengadah ke atas, menatap sinar rembulan yang tampak
begitu terang.
"Hey, apa kau tahu ke mana
perginya orang tadi" tanyaku pada Dewi malam. Tak ada jawaban yang
terdengar. Aku seperti orang gila malam itu. Melihat tingkah ku ini, aku jadi
tertawa sendiri.
-----
Aku tak menceritakan kejadian
semalam kepada siapa pun, termasuk Joni dan Vian. Malam berikutnya aku berusaha
untuk tetap terjaga. Aku menunggu kehadiran makhluk itu kembali lagi dalam
ketakutan yang merasuki seluruh alam pikiranku. Tapi, aku berusaha untuk
menepis semuanya.
Kali ini suasananya sedikit
berbeda di malam sebelumnya. Lampu begitu terang menghiasi setiap sudut ruangan
ini. Aku ditemani dengan sebuah novel. Aku membuka satu per satu halamannya dan
mulai membaca setiap kata yang tertera pada kertas kuning yang tampak kusam di
mataku
"Apa kali ini dia akan
datang?"
Aku telah menunggu selama 2 jam,
tetapi aku belum melihat sesuatu yang terjadi seperti malam kemarin. Aku hanya
bisa mendengar dengkuran teman-temanku sambil melihat air liurnya berlumuran
membanjiri bantal. Sungguh pemandangan yang sangat menjijikkan.
"Hoaammm,,"
Rasa kantuk kini mulai menghampiri
diriku. Aku kemudian meletakkan novel di bawah bantal. Ku katupkan tangan dan
sebait doa ku panjatkan kepada Yang Kuasa atas penyertaanNya padaku selama hari
ini. Setelah selesai dengan ritual rutinku, aku langsung membaringkan badankku
dia atas tempat tidur kayu yang beralaskan tikar.
Beberapa menit setelah ku menutup
mata, aku dikejutkan oleh suara hentakan kaki.
"Apa ini?"
Aku langsung bangun dari tempat
tidur. Ku lihat Joni berjalan keluar ruangan. Tapi ada yang aneh dengannya. Ia
berjalan dengan mata tertutup. Aku mengikuti gerak-geriknya dari belakang. Ia
menuntunku sampai tepat di ujung tanjung.
"Apa yang ia lakukan
tengah-tengah malam begini di sana?"
Ya, di belakang asrama kami
terdapat sebuah tanjung, yang di bawahnya terdapat sekumpulan air yang kita
sebut laut. Ada juga beberapa pohon besar di sana. Berdiri begitu gagah
meskipun diterpa oleh angin laut yang begitu kencang. Tapi itu sama sekali
tidak membuatnya rubuh melainkan tetap tumbuh menjulang tinggi ke angkasa.
"Joni.... Joni...! Sadar
Jon!" aku memanggilnya sekeras mungkin. Tapi tak ada balasan
apa-apa!"
"Joni... Jon...!!"
panggilku sekali lagi saat ku lihat kaki kirinya telah melangkah ke ujung
tanjung.
Aku berlari sekuat tenaga untuk
mencegahnya sekaligus membangunkannya dari mimpi buruknya ini. Di saat aku
ingin meraih tangannya, ia malah duluan melangkah sehingga aku tak berhasil
menggapainya. Tapi sungguh aneh. Tubuhnya sama sekali tidak jatuh, melainkan ia
terus berjalan. Ia bagaikan melayang di udara. Ia berjalan sambil meneriakkan
nama ibunya.
Setelah berada cukup jauh dariku,
baru ia terjaga dari tidurnya. Kejadian pun tak terhindarkan. Ia langsung
terjatuh.
"Ahhhh..." teriakannya
memecah keheningan malam itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar