Selasa, 30 Desember 2014

Lirik lagu Dengan Firman-Nya - Mainoro

Lirik lagu Mainoro - Dengan Firman-Nya


I:
Sungguh besar kuasa Allah Sang Raja
Bahkan tiada bandingan-Nya
Dengan firman-Nya dunia dicuptakan
Semua jadilah


II:
Segala suku bangsa sujud menyembah
Raja di atas segala Raja
Kamipun memuji dan memuliakan-Nya
Glory halleluya


Oh tiada, Allah yang sperti Dia
Allah kami, yang ada di tempat Maha Tinggi


Reef: Bernyanyilah bermazmur bagi-Nya
Bersorak dan puji Nama-Nya
Biarlah segala yang bernafas
Sujud menyembah-Nya

Selasa, 27 Mei 2014

PETUALANGAN EMPAT ORANG ANAK



"Kak, kita jalan yuk" ajak Ratih
Aku tak menghiraukannya. Aku sendiri lagi menikmati acara TV kesayanganku, yang tak pernah aku lewati satu bagian pun.
"Kakak?" panggilnya sekali lagi.
"Iya,ada apa? Kamu ganggu kakak aja. Kakak lagi serius nonton ni" balasku tanpa menatap Ratih.
"Kita jalan jalan yuk?"
"Tapi mau ke mana?" tanyaku.
"Ke mana aja kak. Ratih lagi malas di rumah. Mau ya kak?" bujuk Ratih padaku.
Aku menatapnya. Ku lihat kesungguhan niatnya pada kedua bola matanya. Aku hanya mengganggukkan kepala, pertanda bahwa aku setuju. Aku tak bisa mengelak dari rayuannya. Dia terlihat begitu senang saat mendengar jawabanku. Dia adik perempuanku satu-satunya yang paling ku sayangi.
"Ayo siap-siap kak" seruh Ratih dengan begitu semangat.
Aku lalu berkemas.
"Kita ke hutan saja ya kak?"
Ajakannya membuatku jadi bingung? Mengapa harus ke sana? Aku hanya mengeryitkan dahi saja.
"Kakak takut ya?"
"Nggak kog. Cuma kakak heran aja. Katanya mau jalan-jalan. Eh, malah kamu ajak kakak ke hutan?"
"Aku cuma ingin mencari pengalaman yang berbeda aja kak. Lagian ya, kalo kita pergi ke mall, ke pantai atau nonton itu kan sudah biasa aku lakukan. Aku pengen rasain sesuatu yang berbeda saja kak"
Aku hanya mendengar ceramahnya. Untuk kali ini aku mengiyakan. Aku dan Ratih lalu mengajak Devi dan Joni yang rumahnya tak jauh dari tempat tinggal kami. Mereka langsung setuju saja saat aku mengutarakannya. Tak butuh waktu lama, mereka berdua kembali dengan persiapan masing-masing. Kami berempat kini telah siap untuk menuju ke medan pertempuran.
------

Suara Ratih sama sekali belum terdengar selama kami menempuh perjalanan. Aku tak tahu apa yang sedang dipikirkannya sekarang. Ia sesekali memandang langit yang tampak cerah sambil menatap kiri dan kanan kami.
"Seperti seorang intel saja" gumamku dalam hati.
Devi sudah mulai kecapaian. Ku putuskan untuk berhenti sejenak. Joni kemudian menyodorkan sebotol air padaku.
"Thanks" ucapku lalu meneguknya. Cuaca hari ini cukup panas sehingga memicu dehidrasi. Kalau saja tidak membawa bekal, pasti kami sudah mati kehausan di sini.
"Kak, coba ke sini!" panggil Ratih. Aku segera berlari mendapatinya.
"Apa Ratih menemukan sesuatu?" tanya hatiku. Joni dan Devi menyusul dari belakang. Kini bola mataku seperti tertahan oleh sesuatu. Ia tak bisa ku gerakkan sama sekali. Aku hanya mampu menatap ke bawah. Kini kami semua berdiri tepat di sebuah lubang yang berdiameter 8 m dengan ketinggian mencapai 18 kaki.
"Apa ini?" tanya Devi.
Tak ada satupun yang menjawab. Semua terpaku pada tempat ini.
"Ratih, apa yang kamu lakukan?" teriakku saat melihat Ratih mencoba untuk menuruni lubang tersebut. Panggilanku sama sekali tidak membuatnya berhenti. Seakan panggilanku dijadikan motivasi untuk terus melanjutkan aksinya. Aku berlari, dengan tujuan untuk menghentikan langkahnya, tetapi dia terlampau jauh dari ku.
"Aku nggak kenapa-kenapa kak. Aku baik-baik saja di bawah sini. Kakak coba turun, dan lihat apa yang kudapat!" teriak Ratih dari bawah lubang itu.
Ajakan Ratih membuatku jadi penasaran. Apa yang ada di bawah sana? Aku menatap Joni dan Devi yang berdiri di sampingku. Joni menganggukan kepala. Sepertinya dia mengerti dengan bahasa tubuhku, tapi tidak untuk Devi.
"Aku takut!" ucap Devi sambil duduk di atas tanah yang berwarna cokelat tua karena ditutupi oleh dedaunan kering yang jatuh dari dahan pohon yang tumbuh di sekitar situ.
"Nggak apa-apa. Kan ada aku sama kak Rian." Joni coba untuk menyakinkan Devi.
"Daripada kamu sendirian di atas sini? Emangnya kamu nggak takut ya?" sambungnya.
Aku hanya berdiri mematung di belakang, memberi kesempatan untuk Joni. Berharap, ia berhasil membujuk Devi. Sebenarnya aku cemburu melihat mereka berdua dekat seperti itu. Semua itu karena aku secara diam-diam jatuh hati kepada Devi. Sudah lama sekali aku ingin menyampaikan hasrat terpendam ini. Hasrat yang menyiksa ku secara perlahan. Tapi, seakan ku tak punya nyali yang cukup untuk berbicara empat mata dengannya. Terpaksa ku urungkan semua niatku itu. Aku merasakan hembusan angin yang sepoi-sepoi serta menikmati kehangatan sinar mentari. Devi kini mulai berdiri, merapikan tubuhnya yang penuh dengan kotoran. Tampaknya Joni telah berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik. "Good job!"
-----

"Apa itu?" tanyaku
Sebuah tulisan seperti kaligrafi terlukis manis pada tubuh lubang tersebut.
"Apa artinya?"
Aku tak mengerti. Yang ku tahu itu hanyalah sebuah tulisan. Tulisan yang mungkin menunjukan misteri lubang ini. Tulisan yang mungkin merupakan petunjuk untuk menemukan sesuatu. Sesuatu yang mungkin bersembunyi di dalam lubang ini. Sebersit pertanyaan muncul begitu saja dalam benakku.
"Tempat apakah ini?" tanyaku dalam hati. Ku alihkan pandanganku ke tempat lain. Ku lihat beberapa batu berbentuk peti tergeletak setengah meter dari tempatku berdiri.
"Hei, coba lihat ini!" panggilku pada Joni, Devi dan Ratih.
"Apa ini?" tanya Joni penasaran.
"Mungkin tempat untuk menyembunyikan senjata" jawab Ratih.
"Bisa jadi" sambungku membenarkan argumen adikku.
"Kalo aku menemukan ini" ucap Devi sambil menunjukan sebuah botol kepada kami bertiga. Botol berukuran kecil dengan gambar tengkorak bertanda silang. Sepertinya sudah lama sekali. Itu terlihat dari debu yang menutupi botol tersebut.
"Ini pasti minuman beracun. Tandanya terlihat jelas sekali" seru Ratih sambil membersihkan debu yang melekat.
"Ini mungkin digunakan untuk meracuni para penjajah sebelumnya" sambung Ratih.
"Penjajah? Iya, memang benar. Ini ada hubungannya dengan penjajah" bahtinku.
Kami semua menggangukkan kepala serempak. Misteri tempat ini hampir terpecahkan oleh detektif amatiran seperti kami.
Tapi, tiba-tiba terdengar sebuah nyanyian dari dalam lubang tersebut. Nyanyian yang kedengaran asing di telinga kami. Tentu saja itu membuat kami semua takut.
"Apa ini adalah penunggu dari tempat ini? Apa kami telah mengusiknya? Semoga tidak!"
Ratih langsung memegang erat tanganku sambil bersembunyi di balik ransel hitam yang ku bawa. Sementara Devi berlari ketakutan ke arahku. Ia memeluk erat tubuhku sehingga aku sendiri sulit untuk bernapas. Di saat itu perasaanku jadi tak karuan, di antara senang atau takut. Senang karena berada dalam dekapan orang yang ku cinta, sedangkan takut akan suara misterius itu. Joni kemudian berdiri di sampingku dengan wajah yang panik juga. Nyanyian itu sama sekali belum pernah ku dengar sebelumnya. Nyanyian tersebut sepertinya ingin mengatakan sesuatu kepada kami semua yang sedang ketakutan ini. Tapi apa? Kami sama sekali tak mengerti.
"Kayaknya itu menandakan untuk kita segera pulang" bisik Devi pada kami semua.
"Iya kak!" tambah Ratih.
Aku pun mengiyakan. Begitu pula dengan Joni.
"Ada benarnya juga. Tempat ini seperti tempat terlarang. Aku seakan bisa merasakan sesuatu yang aneh di sekitar tempat ini"
Nyanyian itu masih saja terus berkumandang, seperti nyanyian yang penuh kesedihan. Nyanyian yang penuh harapan. Nyanyian yang penuh dengan misteri kehidupan. Nyanyian yang membuat orang menjadi iba sekaligus berbalik menyerang. Nyanyian yang terdengar perlahan, namun mengerikan jika di dengar terlalu lama.
Akhirnya kami tiba di atas kembali dan suara itu pun hilang dengan seketika. Sungguh aneh tapi itu lah yang kami hadapi sekarang ini. Kami semua saling menatap. Tatapan kami penuh dengan tanda tanya.
"Ada apa dengan tempat ini?"
"Ayo kita pulang" ajakku. Kali ini aku yang memimpin barisan. Ratih dan Devi kemudian berjalan mengikutiku dari belakang.
"Tidak! Sebelum aku tahu apa yang ada di peti batu itu. Aku yakin pasti ada sesuatu yang tersembunyi di sana" bentak Joni saat kami hendak meninggalkan tempat itu.
"Tapi Jon,, suara tadi telah mengirim pesan secara tidak langsung kepada kita untuk segera meninggalkan tempat ini. Ada sesuatu yang tidak beres dengan tempat ini. Ayo kita pulang Jon!"
"Sekali ku bilang tidak, ya tetap tidak!" balas Joni dengan nada tinggi. Joni bersikeras untuk ikut bersama kami. Ingin sekali rasanya aku menjitak kepalanya agar ia mau menurut. Aku kesal sekali dengan sikapnya yang satu ini.
"Aku tak akan meninggalkan tempat ini sebelum aku mengetahuinya" sambungnya lagi.
"Sh*t!" Dia benar-benar membuatku kehilangan kesabaran. Aku berlari ke arahnya sambil mengepal tanganku, bersiap untuk memukulnya.
Belum sempat ku layangkan tinjuku padanya, tiba-tiba sebuah suara lagi-lagi mengejutkan kami semua
"Woiii..!!"
Suara itu datang begitu saja tanpa permisi. Kejadiannya hampir sama saat kami berada di bawah sana. Kami tak tahu dari mana asal suara itu. Tak ada siapapun di sana, hanya kami berempat. Ku isyaratkan Joni untuk segera kembali. Kali ini ia mengikuti instruksiku dengan baik. Aku tak mau sesuatu yang buruk terjadi pada kami semua.
------

"Kak, tadi itu apaan ya?" tanya Ratih.
"Kakak juga nggak tahu pasti" jawabku.
"Yaudah, nggak usah dipikirin lagi. Yang penting kita semua baik-baik saja sekarang"
"Lain kali kalo diajak beginian, aku nggak mau ikut lagi. Aku kapok 7 turunan deh! Tau nggak, tadi tuh aku hampir ngompol" seru Devi.
Aku hampir saja tertawa saat mendengar pengungkapannya itu. Ku pandangi wajahnya yang tampak pucat pasi. Menandakan bahwa ketakutan itu masih ada dalam dirinya. Masih terlihat jelas di rona wajahnya. Sekilas tampak cantik dalam pandanganku. Ditambah dengan uraian rambut yang tertiup angin. Menggambarkan sosok wanita yang siap untuk menerima berkat. Aku tak seharusnya berpikiran begitu. Ada apa dengan diriku saat ini? Sementara itu, Joni tampak murung di sampingku.
"Hei, kamu kenapa?" sapaku
Joni tak menjawab. Ia seperti sedang merenung atau dia sedang menyusun strategi baru yang dapat membuat misteri tempat ini terkuak. Entalah.
"Brukkk!" Terdengar sesuatu. Sepertinya tak jauh dari tempat kami berada.
"Ada seekor burung yang jatuh di sini!" teriak Joni. Suaranya menggema, terpantul dari setiap batang pohon yang berdiri tegak di situ. Kami semua menghampirinya. Burung kecil yang malang. Sayapnya terluka. Mungkin terkena peluru oleh para pemburu yang ingin sekali mendapatkannya. Itu sebabnya sehingga ia tak dapat mengepakkan sayapnya dan akhirnya terjatuh. Tapi siapa pelakunya? Perasaan cuma kami berempat yang ada di sana. Kami juga tak mendengar bunyi tembakan atau semacamnya. Aneh sekali.
Di saat ingin ku sentuh burung itu, tiba-tiba saja burung itu terbakar hangus oleh cahaya matahari yang mengenai tubuhnya. Aku, Joni, Devi dan Ratih menjadi heran dengan kejadian itu. Kami mundur beberapa langkah, menjauh dari burung itu. Asapnya mengepul dan menuju sebuah batang pohon yang tak terlalu besar. Ku lihat ada tanda panah yang terlukis di sana. Apa lagi ini? Apa ini sebuah petunjuk atau jebakan? Aku tak tahu pasti. Aku kini jadi tertarik untuk mengetahuinya, begitu pula yang lain. Perasaan takut yang sedari tadi mengikuti kami sekejab hilang. Rasa ingin tahu kami begitu kuat. Kami sama sekali tidak ingat akan suara tadi yang sempat mematahkan semangat kami untuk terus lanjut. Aneh bukan? Tapi begitulah yang kami rasakan.
Tanda panah itu menghantarkan kami pada sebuah gua kecil tak berpenghuni. Sunyi sekali. Kami tak mampu melihat ke dalam karena terlalu gelap.
"Ada yang punya senter?" tanyaku
Devi kemudian memberikan kepunyaanya. Ku tatap matanya, indah sekali. Seakan ku tak mau lepas dari tatapannya. Lagi-lagi, perasaan ini muncul saat harus berhadapan dengan Devi. Seperti suatu bagian yang tak terpisahkan dari diriku.
"Kak, ayo jalan!" seru Ratih sambil menyikut perutku.
"Iya ya.." aku tersadar dari lamunan ku. Ku lihat Devi yang tersenyum melihat tingkah anehku ini.
Ku arahkan cahaya senter ke dalam gua tersebut. Ribuan kelelawar langsung menyerbu kami. Kami semua menundukkan kepala sambil bergandengan tangan. Suasananya yang tadinya tenang berubah menjadi gaduh karena teriakan kelelawar yang meminta pertolongan. Kami semua telah membuat kelelawar itu terbangun dari tidur lelapnya. Perjalanan dilanjutkan kembali. Aku tak tahu gua ini akan menuntun kami sampai di mana.
Kami menemui persoalan baru. Ya, kami menemui jalan buntu, ditutupi oleh bebatuan yang lumayan besar.
"Sepertinya tak bisa dilanjutkan" tukas Joni.
"Kita balik aja kak" ajak Devi yang mulai ketakutan.
"Tunggu! Apa ini?"
Ratih melihat sesuatu yang terselip di bebatuan itu.
Itu seperti seutas tali, lalu ku tarik.
"Jangan!" teriak Joni.
"Itu mungkin jebakan!"
Tapi terlambat sudah karena telah ku tarik tali itu. Dan apa yang terjadi?
"Brurrr.." Batu itu pun runtuh, berserakan di hadapan kami. Membuat gaduh tempat itu. Aku hanya mengangkat kedua bahuku sambil mengernyitkan dahi lalu menatap mereka bertiga yang keheranan. Ternyata itu bukan jebakan melainkan itu merupakan "cheap" yang tersembunyi untuk terus ke level selanjutnya. Permainan ini semakin menarik untuk dilanjutkan.
"Let's go!"
Tapi, apa maksud dari semua ini? Masih merupakan sebuah misteri.
-----

"Bukannya ini lubang yang tadi kita datangi?" tanya Devi dengan keheranan.
"Iya, benar" lanjut Joni.
Semua ini membingungkan. Mengapa kami dituntun kembali lagi ke tempat ini? Tempat yang telah menghentikan perjalanan kami beberapa waktu lalu. Aku kini benar-benar dibuat bingung. Dan sekali lagi, nyanyian misterius itu berkumandang di telinga kami.
Tanpa sadar ku sentuh sesuatu yang berada di belakangku dan terbukahlah sebuah pintu rahasia. Kami semua masuk ke dalam karena ketakutan yang melanda.
"Prak..!!"
Pintu itu terkunci secara otomatis. Kami terjebak di dalamnya. Yang penting kami bisa terlepas dari nyanyian yang begitu menyeramkan itu. Tempatnya tidak terlalu gelap karena cahaya mentari berhasil masuk melalui celah-celah sempit. Nyanyian itu tak terdengar lagi. Sekarang kami menemui masalah baru. Ya, bagaimana kami keluar dari tempat ini?
Aku menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya. Keringat membanjiri tubuhku. Jantungku berdetak cepat, secepat seekor harimau yang sedang berlari. Ku coba untuk mengaturnya kembali.
Saat ku alihkan pandanganku ke depan, ternyata, di depan kami terdapat setumpuk tengkorak dengan rangka badannya. Terlihat tidak terurus lagi. Hal itu membuat Devi teriak histeris. Dengan segera Joni menutup mulut Devi.
"Jangan terlalu ribut di sini. Ntar kita dimarahi" ucap joni.
Devi mengangguk.
"Ratih...!! Apa yang kamu lakukan?" teriakku padanya.
Sekali lagi, Ratih melakukan sesuatu tanpa meminta persetujuan dariku sebelumnya. Sungguh terlalu!
Ratih merapikan tengkorak-tengkorak itu. Rasa takut sama sekali tak ia tunjukkan pada kami. Seperti sesuatu melindunginya, berupa tameng yang siap menepis semua serangan yang akan datang. Ia menyusunnya menjadi rangka manusia yang sempurna, yang terlihat duduk sambil memegang sebatang lilin di tangannya masing-masing.
Mungkin ini adalah maksud dari nyanyian misterius itu. Menolong mereka yang telah tiada dengan menunjukan perlakuan baik kepada mereka sehingga mereka bisa merasa tenang di alam baka sana.
Kami melanjutkan perjalanan lagi, mengikuti lorong kecil ini. Kami kemudian keluar dari semak semak belukar. Sekujur tubuh kami langsung menjadi gatal. Aku pandangi sekitar. Ternyata kami sudah berada di depan jalan. Rumah kami sudah terlihat di ujung barat. Sungguh menakjubkan. Devi sudah tidak sabar lagi untuk pulang ke rumah tercinta. Begitu juga aku, Joni dan Ratih.
Kini Ratih asyik bercerita dengan Joni, sedangkan aku bersama Devi. Ku genggam tangannya. Terasa sesuatu yang mengganjal. Aku merasa begitu bahagia bisa bersama dengannya saat ini. Apa lagi di saat dia memelukku tadi. Ku ingin kejadian itu terulang kembali, tapi suasananya tak seperti di kala itu. Aku ingin pelukan itu pertanda bahwa dia telah jatuh dalam cintaku. Pelukan yang pertanda bahwa aku telah siap menjadi pelindung dirinya. Devi tampak malu-malu padaku. Wajahnya memerah tomat. Aku lalu tersenyum manis padanya.
Kini kami semua mulai mengerti dengan semua kejadian di hari ini. Ini adalah sebuah "shortcut" (jalan pintas) sekaligus tempat persembunyian di zaman dahulu kala. Tempat untuk menyusun strategi perang dan melakukan penyerangan terhadap musuh.
"Nyayian itu.."
"Ternyata dugaanku benar. Nyanyian yang berupa permohonan. Burung yang terkapar lemas sungguh menunjukkan jalannya bagi kami."
"Tapi,,"
"Bagaimana dengan suara aneh yang berusaha mencegah kami untuk kembali?"
"Mengapa burung kecil itu menuntun kami kembali lagi?"
"Apa mungkin suara itu merupakan sebuah larangan? "
"Larangan yang telah kami langgar dan mungkin sebentar lagi akan  kami terima hukumannya?"
Aku tak tahu. Ternyata, tempat itu masih menyimpan segudang misteri yang belum kami ketahui.

"Ratih...!!"
Teriakku sambil melepaskan genggaman Devi dan berlari secepatnya mendapati adikku yang telah terbaring lemas.
"Ratih, kamu kenapa?" bahtin ku bertanya. Ku periksa adikku, ternyata jantungnya masih berdetak.
"Apa ini akibatnya karena kami telah masuk ke zona terlarang? Ku harap tidak"
"Apa ini konsekuensinya karena telah melakukan sesuatu yang tak seharusnya kami lakukan selama perjalan? Mengapa Ratih tiba-tiba pingsan tanpa alasan pasti? Padahal, ia tadi terlihat begitu gembira. Dan sekarang, ia hanya bisa tertidur di atas tanah sambil diam membisu. Hanya detak jantung serta desahan nafasnya yang bisa terdengar.
Ku tatap Joni, tapi Joni hanya menggelengkan kepalanya saja. Ia juga tidak tahu penyebabnya.
"Ya, Tuhan. Apa lagi ini?"
Aku lalu menggendong adikku menuju rumah yang sudah berada di depan mata. Jantungku berdetak tidak menentu. Jangan sampai sesuatu yang buruk terjadi pada adikku ini. Aku tak ingin dia kenapa-kenapa. Aku tak henti-hentinya berdoa, berharap agar kondisi adikku kembali seperti semula.
"Kena deh!" suara Ratih mengejutkanku.
"Hahaha... Kakak kena tipu muslihatku" tawa Ratih pun membumbung tinggi.
"Nggak lucu tau? Kamu itu nakutin kakak aja!" cetusku lalu menurunkannya.
"Hahaha,, kakak khawatir ya sama aku?" tanya Ratih, sementara mulutnya tak bisa menahan tawa.
"Bukan khawatir, tapi khawatir banget tau? Kamu itu keterlaluan banget ya?" balasku.
Di saat begini, Ratih masih sempat saja untuk menjahiliku. Sungguh, aku sangat kesal padanya. Tapi tak mengapa, yang penting dia baik-baik saja. Ku lirik Joni. Ia juga tertawa terbahak-bahak saat menatapku.
"Jadi, ini semua rencana kalian ya?" tanyaku pada Joni. Joni hanya tersenyum. Senyum yang sungguh mengundang emosi. Tapi bisa ku tahan.
"Emang dasar ya? Awas kalo aku dapat" ketusku sambil mengejarnya.
Sungguh hari yang melelahkan, tetapi kami merasa senang juga. Kami bisa merasakan sebuah pengalaman yang berbeda. Pengalaman yang cukup menantang dan memicu adrenalin kami. Semoga petualangan berikutnya lebih menarik.
Kami pisah di persimpangan jalan, Devi dan Joni ke barat sementara aku dan Ratih ke arah timur. Ku ketuk pintu lalu mengucap salam. Saat hendak mengambil sendal, ku lihat sebuah bayangan aneh di sampingku. Dia berkata "permainan baru saja di mulai"

Senin, 26 Mei 2014

UNBELIEVEABLE PART II



(Setelah berada cukup jauh dariku, baru ia terjaga dari tidurnya. Kejadian pun tak terhindarkan. Ia langsung terjatuh.
"Ahhhh..." teriakannya memecah keheningan malam itu.)

-----
 
Ia beruntung dari kecelakaan maut yang hampir saja merenggut nyawanya karena ia jatuh tepat di saat air sedang pasang. Kalau saja surut, aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya. Mungkin saja ia telah mati menengaskan di bawah sana, apa lagi jaraknya cukup tinggi dari permukaan.
Tanpa berpikir panjang aku langsung turun ke bawah, aku melihatnya di kejauhan. Tampaknya ia sudah sadar dari mimpi buruk itu. Ia berenang ke arahku. Ku ulurkan tangan padanya sambil membantunya naik ke permukaan.

"Thanks ya, Yandri"
"Iya, sama-sama!" jawabku
Joni kemudian batuk, mengeluarkan air laut yang sempat masuk ke kerongkonganya saat terjatuh tadi.
“Apa yang terjadi dengan diriku?” tanya joni.
"Ayo, kamu pergi mandi kemudian keringkan badanmu, setelah itu aku akan menceritakan  apa yang sebenarnya terjadi dengan dirimu di malam ini"
Joni mengangguk mantap padaku. 

Setelah memberi penjelasan kepada Joni, aku memilih pergi ke lapangan badminton yang berada tepat di depan sekolahku. Akhir-akhir ini aku banyak mengalami kejadian yang aneh. Atau ada yang aneh dengan asrama ini? Aku mulai berhipotesa. Aku bagaikan seorang ahli yang sedang melaksanakan risetnya.
----  

“Yan, ikut main nggak?” tanya Vian padaku.
“Aku nggak mood hari ini” balasku padanya.
“Ya udah deh kalo gitu. Kita cabut dulu ya?” pamit Vian
Aku melambai pada dia.

Hari ini adalah hari khusus bagi kami untuk mengembangkan diri, khususnya di bidang olahraga. Ada yang main sepak bola, ada yang memilih bermain voly, ada yang main tenis meja dan sebagainya. Biasanya aku selalu bergabung dengan teman-temanku, tapi tak tahu mengapa aku jadi tak bersemangat hari ini.

Aku berjalan perlahan ke halaman belakang sambil memegang teh hangat yang baru saja aku buat. Ku letakan kursi kemudian meminum teh hangat tadi sambil menikmati panorama laut di sore itu. Begitu indah. Ku lihat burung-burung terbang dengan begitu riang. Mengepakan kedua sayapnya begitu lebar sambil sesekali memerciki diri mereka sendiri dengan air laut. Ah, ingin sekali rasanya terbang. Aku harap aku punya sayap untuk dapat mewujudkan impianku yang satu ini.

Tak terasa matahari sebentar lagi akan meninggalkaan kota ini. Gelas yang tadinya menemaniku kini mulai terlihat kosong. Waktu berlalu begitu cepat. Dengan agak lesuh, ku mengangkat kursi yang kugunakan tadi kembali ke tempatnya yang semula. Hari ini aku tak berbuat apa-apa, tapi aku merasa letih. Aku heran terhadap diriku sendiri. Ada apa yang terjadi dengan diriku ini? 

“I’m like a stranger in this place! Sh*t! What should I do?”

Aku dengar ayam betina mulai berkotek. Sepertinya ia sedang mencari tempat yang nyaman dan akan segera bertelor. Tapi ternyata perkiraan ku salah. Aku sangat terperangah dan tak bisa berkata apapun saat aku memutar badan dan melihat ke arah ayam yang tadi berkotek. Seekor ular piton yang sangat besar berada tepat di hadapannya, dan berada beberapa meter saja dari ku. Tak ada seorangpun bersama denganku di sana. Ku lihat ular tersebut menyantap ayam-ayam yang sedang berkeliaran di tempat itu, sementara hewan yang lain mencari tempat persembunyian. Berharap agar tidak dimangsa oleh predator buas satu ini. Aku juga berpikiran demikian, tetapi aku tak berani untuk berlari. Jangankan berlari, bergerak sedikitpun saja aku tak bisa. Aku begitu takut pada makhluk buas yang satu ini. Ya, aku pernah membaca bahwa hewan ini dapat meremukan manusia dengan cara melilitkan badannya pada kita. Setelah diremuk, kita langsung dimakan olehnya. Jangan sampai ini terjadi pada diriku.
Aku kini saling menatap dengan ular itu. Lidahnya menjulur keluar. Ia perlahan mendekatiku.

“Oh my God. Please help me!”
Aku berusaha menahan nafas sekuat mungkin. Aku tak tahu ini bisa menolongku dari incarannya atau tidak. Aku hanya bisa pasrah dengan keadaan. Namun, nasib baik masih berpihak kepadaku. Ular itu berbalik arah dan menceburkan dirinya ke laut.

“Byuuuuurrrrrr...!!!”

Percikan air terdengar begitu nyaring saat tubuh ular itu  menyentuh permukaan air laut. Aku bernafas lega. Aku bisa saja jadi santapan penutupnya tadi. Aku bukannya cepat menjauh dari tempat itu melainkan aku berlari ke tepi tanjung. Melihat ke mana ular itu akan pergi. Tapi ia menghilang begitu cepat hingga jejaknya tak dapat ku temukan.
Di saat genting seperti tadi aku merasa seperti seseorang yang tak berguna. Aku tak bisa mnyelamatkan diriku sendiri. Aku selalu berusaha berbuat baik dalam hidup, bahkan kemarin aku sempat menolong joni. Tapi mengapa di saat aku dalam “Big Trouble”, tak ada satupun yang datang menolongku? Ini kah balasannhya.
“Arrrgggghh...!!!”
-----


“Hey, kau tampak buruk hari ini? Apa kau ada masalah?” tanya Toni.
Aku tak menjawab.
“Kalau ada, lebih baik berbagi dengan kita, iya kan teman-teman?” sambung Toni kembali
“Bener banget” sambung yang lain sambil menganggukan kepala mereka masing-masing.
Aku masih terdiam.
Ku ambil handuk lalu berjalan meninggalkan mereka semua.
“Ada apa dengan yandri hari ini?”
“Aku juga tidak tahu”
“Tanya langsung aja sama orang”
“Kamu lihat sendiri kan tadi reaksinya gimana? Sama sekali tak ada. Apa dia baik baik saja?”
Aku mendengar bisikan-bisikan dari teman-temanku, tapi aku tak menghiraukannya. Aku melanjutkan perjalananku kembali.

Malam ini seperti biasanya. Aku masih membaca novel kesukaanku. Teman-temanku semua sudah tertidur pulas. Terkadang aku mendengar mereka berkata-kata sendiri dalam mimpinya. Aku juga melihat gaya tidur mereka yang tidak karuan, selimut yang mereka gunakan sebagai penghangat di malam hari tergeletak di samping tempat tidur mereka.

“Sungguh ceroboh!” aku tertawa sendiri, seperti orang gila.
“Kreeeeeeekkkkk....!!!”
Aku mendengar sesuatu. Aku mendengar dengan seksama sekali lagi.
““Kreeeeeeekkkkk....!!!” suara itu kembali terdengar.
“Apa lagi ini?”
Sepertinya suara itu berasal dari tempat tidur Vian. Aku berjalan perlahan, menghampiri tempat tidurnya. Suara itu semakin terdengar dengan jelas.
“Berasal dari sana rupanya”
“Vian...!!”
“Vian...!!”
Aku memanggilnya, tapi ia tak mendengar panggilanku. Padahal aku berharap ia terbangun.
Aku mendekati dinding ruang ini kemudian menempelkan telinga kanan. Coba tebak apa yang aku dengar?
“Bersiaplah, aku datang....!!!”
Serentak, aku langsung mundur beberapa langkah. Tanganku tak sengaja memukul wajah Vian yang sedang tertidur karena aku sangat terkejut. Detak jantungkupun mulai meningkat. Berdebar begitu kencang. Aku takut.
“Hei, ganggu tidur orang saja” ujar Vian.
“Apa yang kau lakukan di tengah malam seperti ini? Mengapa kamu tidak tidur?”
“Sssssstttt..!! jangan berisik Vian, aku ingin dengar sesuatu!”
“Emang dengar apaan?” tanyanya.
“Sudah, tenanglah. Nanti aku ceritakan padamu. Semuanya, pada teman-teman kita. Jadi ku mohon, kali ini aku harap kau jangan buat gaduh.
Aku berharap aku bisa mendengar suara itu kembali. Aku berharap mendengar kata-kata selanjutnya yang akan di sampaikan olehnya. Setelah diam beberapa menit, kami berdua tak mendengar apapun.
Vian merasa dipermainkan olehku.
“Apa maksud semua ini?” tanya Vian tak mengerti.
“Aku tadi mendengar sesutu yang berasal dari balik dinding ini. Tepat di belkang tempat tidurmu ini. Awalnya aku mengira itu suara dengkuranmu. Tapi, dugaanku meleset. Itu bukan berasal darimu. Saat aku hendak mendekat dan ingin mendengar lebih jelas, ia berkata bersiaplah, aku datang. Saat itulah, aku tak sengaja memukulmu dan membangunkanmu di malam ini. Aku tak mengada-ada Vian, percayalah!” aku menjelaskan kepada Vian panjang lebar. Semoga dia mengerti akan situasi yang terjadi malam ini.
“Aku tak percaya!” ungkapnya.
“Aku juga begitu. Tapi, inilah kenyataannya” jawabku.
“Apa kau berani keluar? Aku ingin melihat apa yang terjadi di balik dinding ini?” ajakku,
“Kau berani tidak?” tanyaku sekali lagi;
“OK! Apa aku harus membangunkan Joni dan Toni untuk ikut bersama dengan kita?”
“Tak usah, biar aku dan kamu saja”

Kami berdua memberanikan diri untuk keluar. Hari bergitu gelap. Kami hanya diterangi dengan lampu yang nyalanya sudah redup. Letaknya di atas pojok kanan ruang tidur kami. Bel tua tergantung di bawahnya. Bel inilah yang setiap hari membangunkan kami di waktu pagi.
“Tidak mungkinn..!!” kata ku saat melihat bekas itu.
“Ada apa Yan?” tanya Vian.
“Coba lihat ini!” aku merangkul Vian. Kami berdua menatap dinding dari mana asal suara aneh itu.
“Ini seperti bekas cakaran” ucap vian sambil menganalisis apa yang terjadi.
“Iya, kau benar! Tapi siapa pelakunya Vian?
“Aku tak tahu, Yan!!”
“Apa kamu mengalami hal-hal ini juga sebelumnya?” sambung Vian.
“Maksudnya, apa kau pernah mengalami hal-hal aneh pada hari-hari sebelumnya, seperti malam ini atau tidak?”
Aku bingung antara menjawab pertanyaan Vian atau tidak. Aku benar-benar bingung. Aku tak tahu harus menjawab apa padanya. Aku memang ingin mengatakannya, tapi ini bukan waktu yang tepat untuk memberitahukannya.

“YANDRI!” panggil vian,,
“Iya, ada apa?”
“Apa kau dengar, yang barusan aku sampaikan padamu?”
“Tidak..” jawabku sedikit berbohong padanya.
“Tak apa, deh! Mendingan kita masuk lagi ke dalam. Lanjutin tidur, soalnya esok ada sekolah. Aku takut tak bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Dan aku takut juga aku dan kau akan tertidur di dalam kelas saat guru sedang memberi materi dan kita berdua akan dihukum karena kesalahan yang kita sendiri lakukan. Kau ingat saat kau dihukum oleh guru fisika kita yang KILLER itu kan? Jangan sampai itu terulang kembali. Apa lagi esok kan mata pelajarannya?’’
Ketakutan Vian akan hari esok terlalu berlebihan, tapi dia ada benarnya juga.
“Kita selesaikan kasus ini besok saja, ayo” ajak Vian.
Kali ini, aku mengikut semua perintahnya. Kami berdua masuk ke dalam ruang tidur.
Aku mengenakan selimut, mengucapkan salam pada vian dan akupun tertidur. Esok akan menjadi hari yang menentukan. Aku siap mengganti profesi menjadi sesorang detektif untuk beberapa waktu ke depan. Sampai semua kasus yang selama ini menjadi pertanyaanku terungkap.

“I’ll guarenteed!”