"Kak, kita jalan yuk"
ajak Ratih
Aku tak menghiraukannya. Aku
sendiri lagi menikmati acara TV kesayanganku, yang tak pernah aku lewati satu
bagian pun.
"Kakak?" panggilnya
sekali lagi.
"Iya,ada apa? Kamu ganggu
kakak aja. Kakak lagi serius nonton ni" balasku tanpa menatap Ratih.
"Kita jalan jalan yuk?"
"Tapi mau ke mana?"
tanyaku.
"Ke mana aja kak. Ratih lagi
malas di rumah. Mau ya kak?" bujuk Ratih padaku.
Aku menatapnya. Ku lihat
kesungguhan niatnya pada kedua bola matanya. Aku hanya mengganggukkan kepala,
pertanda bahwa aku setuju. Aku tak bisa mengelak dari rayuannya. Dia terlihat
begitu senang saat mendengar jawabanku. Dia adik perempuanku satu-satunya yang paling
ku sayangi.
"Ayo siap-siap kak"
seruh Ratih dengan begitu semangat.
Aku lalu berkemas.
"Kita ke hutan saja ya
kak?"
Ajakannya membuatku jadi bingung?
Mengapa harus ke sana? Aku hanya mengeryitkan dahi saja.
"Kakak takut ya?"
"Nggak kog. Cuma kakak heran
aja. Katanya mau jalan-jalan. Eh, malah kamu ajak kakak ke hutan?"
"Aku cuma ingin mencari
pengalaman yang berbeda aja kak. Lagian ya, kalo kita pergi ke mall, ke pantai
atau nonton itu kan sudah biasa aku lakukan. Aku pengen rasain sesuatu yang
berbeda saja kak"
Aku hanya mendengar ceramahnya.
Untuk kali ini aku mengiyakan. Aku dan Ratih lalu mengajak Devi dan Joni yang
rumahnya tak jauh dari tempat tinggal kami. Mereka langsung setuju saja saat
aku mengutarakannya. Tak butuh waktu lama, mereka berdua kembali dengan
persiapan masing-masing. Kami berempat kini telah siap untuk menuju ke medan
pertempuran.
------
Suara Ratih sama sekali belum
terdengar selama kami menempuh perjalanan. Aku tak tahu apa yang sedang
dipikirkannya sekarang. Ia sesekali memandang langit yang tampak cerah sambil
menatap kiri dan kanan kami.
"Seperti seorang intel
saja" gumamku dalam hati.
Devi sudah mulai kecapaian. Ku
putuskan untuk berhenti sejenak. Joni kemudian menyodorkan sebotol air padaku.
"Thanks" ucapku lalu
meneguknya. Cuaca hari ini cukup panas sehingga memicu dehidrasi. Kalau saja
tidak membawa bekal, pasti kami sudah mati kehausan di sini.
"Kak, coba ke sini!"
panggil Ratih. Aku segera berlari mendapatinya.
"Apa Ratih menemukan
sesuatu?" tanya hatiku. Joni dan Devi menyusul dari belakang. Kini bola
mataku seperti tertahan oleh sesuatu. Ia tak bisa ku gerakkan sama sekali. Aku
hanya mampu menatap ke bawah. Kini kami semua berdiri tepat di sebuah lubang
yang berdiameter 8 m dengan ketinggian mencapai 18 kaki.
"Apa ini?" tanya Devi.
Tak ada satupun yang menjawab.
Semua terpaku pada tempat ini.
"Ratih, apa yang kamu
lakukan?" teriakku saat melihat Ratih mencoba untuk menuruni lubang
tersebut. Panggilanku sama sekali tidak membuatnya berhenti. Seakan panggilanku
dijadikan motivasi untuk terus melanjutkan aksinya. Aku berlari, dengan tujuan
untuk menghentikan langkahnya, tetapi dia terlampau jauh dari ku.
"Aku nggak kenapa-kenapa kak.
Aku baik-baik saja di bawah sini. Kakak coba turun, dan lihat apa yang
kudapat!" teriak Ratih dari bawah lubang itu.
Ajakan Ratih membuatku jadi
penasaran. Apa yang ada di bawah sana? Aku menatap Joni dan Devi yang berdiri
di sampingku. Joni menganggukan kepala. Sepertinya dia mengerti dengan bahasa
tubuhku, tapi tidak untuk Devi.
"Aku takut!" ucap Devi
sambil duduk di atas tanah yang berwarna cokelat tua karena ditutupi oleh
dedaunan kering yang jatuh dari dahan pohon yang tumbuh di sekitar situ.
"Nggak apa-apa. Kan ada aku
sama kak Rian." Joni coba untuk menyakinkan Devi.
"Daripada kamu sendirian di
atas sini? Emangnya kamu nggak takut ya?" sambungnya.
Aku hanya berdiri mematung di
belakang, memberi kesempatan untuk Joni. Berharap, ia berhasil membujuk Devi.
Sebenarnya aku cemburu melihat mereka berdua dekat seperti itu. Semua itu
karena aku secara diam-diam jatuh hati kepada Devi. Sudah lama sekali aku ingin
menyampaikan hasrat terpendam ini. Hasrat yang menyiksa ku secara perlahan.
Tapi, seakan ku tak punya nyali yang cukup untuk berbicara empat mata
dengannya. Terpaksa ku urungkan semua niatku itu. Aku merasakan hembusan angin
yang sepoi-sepoi serta menikmati kehangatan sinar mentari. Devi kini mulai
berdiri, merapikan tubuhnya yang penuh dengan kotoran. Tampaknya Joni telah
berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik. "Good job!"
-----
"Apa itu?" tanyaku
Sebuah tulisan seperti kaligrafi
terlukis manis pada tubuh lubang tersebut.
"Apa artinya?"
Aku tak mengerti. Yang ku tahu itu
hanyalah sebuah tulisan. Tulisan yang mungkin menunjukan misteri lubang ini.
Tulisan yang mungkin merupakan petunjuk untuk menemukan sesuatu. Sesuatu yang
mungkin bersembunyi di dalam lubang ini. Sebersit pertanyaan muncul begitu saja
dalam benakku.
"Tempat apakah ini?"
tanyaku dalam hati. Ku alihkan pandanganku ke tempat lain. Ku lihat beberapa
batu berbentuk peti tergeletak setengah meter dari tempatku berdiri.
"Hei, coba lihat ini!"
panggilku pada Joni, Devi dan Ratih.
"Apa ini?" tanya Joni
penasaran.
"Mungkin tempat untuk
menyembunyikan senjata" jawab Ratih.
"Bisa jadi" sambungku
membenarkan argumen adikku.
"Kalo aku menemukan ini"
ucap Devi sambil menunjukan sebuah botol kepada kami bertiga. Botol berukuran
kecil dengan gambar tengkorak bertanda silang. Sepertinya sudah lama sekali.
Itu terlihat dari debu yang menutupi botol tersebut.
"Ini pasti minuman beracun.
Tandanya terlihat jelas sekali" seru Ratih sambil membersihkan debu yang
melekat.
"Ini mungkin digunakan untuk
meracuni para penjajah sebelumnya" sambung Ratih.
"Penjajah? Iya, memang benar.
Ini ada hubungannya dengan penjajah" bahtinku.
Kami semua menggangukkan kepala
serempak. Misteri tempat ini hampir terpecahkan oleh detektif amatiran seperti
kami.
Tapi, tiba-tiba terdengar sebuah
nyanyian dari dalam lubang tersebut. Nyanyian yang kedengaran asing di telinga
kami. Tentu saja itu membuat kami semua takut.
"Apa ini adalah penunggu dari
tempat ini? Apa kami telah mengusiknya? Semoga tidak!"
Ratih langsung memegang erat
tanganku sambil bersembunyi di balik ransel hitam yang ku bawa. Sementara Devi
berlari ketakutan ke arahku. Ia memeluk erat tubuhku sehingga aku sendiri sulit
untuk bernapas. Di saat itu perasaanku jadi tak karuan, di antara senang atau
takut. Senang karena berada dalam dekapan orang yang ku cinta, sedangkan takut
akan suara misterius itu. Joni kemudian berdiri di sampingku dengan wajah yang
panik juga. Nyanyian itu sama sekali belum pernah ku dengar sebelumnya.
Nyanyian tersebut sepertinya ingin mengatakan sesuatu kepada kami semua yang
sedang ketakutan ini. Tapi apa? Kami sama sekali tak mengerti.
"Kayaknya itu menandakan
untuk kita segera pulang" bisik Devi pada kami semua.
"Iya kak!" tambah Ratih.
Aku pun mengiyakan. Begitu pula
dengan Joni.
"Ada benarnya juga. Tempat
ini seperti tempat terlarang. Aku seakan bisa merasakan sesuatu yang aneh di
sekitar tempat ini"
Nyanyian itu masih saja terus
berkumandang, seperti nyanyian yang penuh kesedihan. Nyanyian yang penuh
harapan. Nyanyian yang penuh dengan misteri kehidupan. Nyanyian yang membuat
orang menjadi iba sekaligus berbalik menyerang. Nyanyian yang terdengar
perlahan, namun mengerikan jika di dengar terlalu lama.
Akhirnya kami tiba di atas kembali
dan suara itu pun hilang dengan seketika. Sungguh aneh tapi itu lah yang kami
hadapi sekarang ini. Kami semua saling menatap. Tatapan kami penuh dengan tanda
tanya.
"Ada apa dengan tempat
ini?"
"Ayo kita pulang"
ajakku. Kali ini aku yang memimpin barisan. Ratih dan Devi kemudian berjalan
mengikutiku dari belakang.
"Tidak! Sebelum aku tahu apa
yang ada di peti batu itu. Aku yakin pasti ada sesuatu yang tersembunyi di
sana" bentak Joni saat kami hendak meninggalkan tempat itu.
"Tapi Jon,, suara tadi telah
mengirim pesan secara tidak langsung kepada kita untuk segera meninggalkan
tempat ini. Ada sesuatu yang tidak beres dengan tempat ini. Ayo kita pulang
Jon!"
"Sekali ku bilang tidak, ya
tetap tidak!" balas Joni dengan nada tinggi. Joni bersikeras untuk ikut
bersama kami. Ingin sekali rasanya aku menjitak kepalanya agar ia mau menurut.
Aku kesal sekali dengan sikapnya yang satu ini.
"Aku tak akan meninggalkan
tempat ini sebelum aku mengetahuinya" sambungnya lagi.
"Sh*t!" Dia benar-benar
membuatku kehilangan kesabaran. Aku berlari ke arahnya sambil mengepal
tanganku, bersiap untuk memukulnya.
Belum sempat ku layangkan tinjuku
padanya, tiba-tiba sebuah suara lagi-lagi mengejutkan kami semua
"Woiii..!!"
Suara itu datang begitu saja tanpa
permisi. Kejadiannya hampir sama saat kami berada di bawah sana. Kami tak tahu
dari mana asal suara itu. Tak ada siapapun di sana, hanya kami berempat. Ku
isyaratkan Joni untuk segera kembali. Kali ini ia mengikuti instruksiku dengan
baik. Aku tak mau sesuatu yang buruk terjadi pada kami semua.
------
"Kak, tadi itu apaan
ya?" tanya Ratih.
"Kakak juga nggak tahu
pasti" jawabku.
"Yaudah, nggak usah dipikirin
lagi. Yang penting kita semua baik-baik saja sekarang"
"Lain kali kalo diajak
beginian, aku nggak mau ikut lagi. Aku kapok 7 turunan deh! Tau nggak, tadi tuh
aku hampir ngompol" seru Devi.
Aku hampir saja tertawa saat
mendengar pengungkapannya itu. Ku pandangi wajahnya yang tampak pucat pasi.
Menandakan bahwa ketakutan itu masih ada dalam dirinya. Masih terlihat jelas di
rona wajahnya. Sekilas tampak cantik dalam pandanganku. Ditambah dengan uraian
rambut yang tertiup angin. Menggambarkan sosok wanita yang siap untuk menerima
berkat. Aku tak seharusnya berpikiran begitu. Ada apa dengan diriku saat ini?
Sementara itu, Joni tampak murung di sampingku.
"Hei, kamu kenapa?"
sapaku
Joni tak menjawab. Ia seperti
sedang merenung atau dia sedang menyusun strategi baru yang dapat membuat
misteri tempat ini terkuak. Entalah.
"Brukkk!" Terdengar
sesuatu. Sepertinya tak jauh dari tempat kami berada.
"Ada seekor burung yang jatuh
di sini!" teriak Joni. Suaranya menggema, terpantul dari setiap batang
pohon yang berdiri tegak di situ. Kami semua menghampirinya. Burung kecil yang
malang. Sayapnya terluka. Mungkin terkena peluru oleh para pemburu yang ingin
sekali mendapatkannya. Itu sebabnya sehingga ia tak dapat mengepakkan sayapnya
dan akhirnya terjatuh. Tapi siapa pelakunya? Perasaan cuma kami berempat yang
ada di sana. Kami juga tak mendengar bunyi tembakan atau semacamnya. Aneh
sekali.
Di saat ingin ku sentuh burung
itu, tiba-tiba saja burung itu terbakar hangus oleh cahaya matahari yang
mengenai tubuhnya. Aku, Joni, Devi dan Ratih menjadi heran dengan kejadian itu.
Kami mundur beberapa langkah, menjauh dari burung itu. Asapnya mengepul dan
menuju sebuah batang pohon yang tak terlalu besar. Ku lihat ada tanda panah
yang terlukis di sana. Apa lagi ini? Apa ini sebuah petunjuk atau jebakan? Aku
tak tahu pasti. Aku kini jadi tertarik untuk mengetahuinya, begitu pula yang
lain. Perasaan takut yang sedari tadi mengikuti kami sekejab hilang. Rasa ingin
tahu kami begitu kuat. Kami sama sekali tidak ingat akan suara tadi yang sempat
mematahkan semangat kami untuk terus lanjut. Aneh bukan? Tapi begitulah yang
kami rasakan.
Tanda panah itu menghantarkan kami
pada sebuah gua kecil tak berpenghuni. Sunyi sekali. Kami tak mampu melihat ke
dalam karena terlalu gelap.
"Ada yang punya senter?"
tanyaku
Devi kemudian memberikan
kepunyaanya. Ku tatap matanya, indah sekali. Seakan ku tak mau lepas dari
tatapannya. Lagi-lagi, perasaan ini muncul saat harus berhadapan dengan Devi.
Seperti suatu bagian yang tak terpisahkan dari diriku.
"Kak, ayo jalan!" seru
Ratih sambil menyikut perutku.
"Iya ya.." aku tersadar
dari lamunan ku. Ku lihat Devi yang tersenyum melihat tingkah anehku ini.
Ku arahkan cahaya senter ke dalam
gua tersebut. Ribuan kelelawar langsung menyerbu kami. Kami semua menundukkan
kepala sambil bergandengan tangan. Suasananya yang tadinya tenang berubah
menjadi gaduh karena teriakan kelelawar yang meminta pertolongan. Kami semua
telah membuat kelelawar itu terbangun dari tidur lelapnya. Perjalanan
dilanjutkan kembali. Aku tak tahu gua ini akan menuntun kami sampai di mana.
Kami menemui persoalan baru. Ya,
kami menemui jalan buntu, ditutupi oleh bebatuan yang lumayan besar.
"Sepertinya tak bisa
dilanjutkan" tukas Joni.
"Kita balik aja kak"
ajak Devi yang mulai ketakutan.
"Tunggu! Apa ini?"
Ratih melihat sesuatu yang
terselip di bebatuan itu.
Itu seperti seutas tali, lalu ku
tarik.
"Jangan!" teriak Joni.
"Itu mungkin jebakan!"
Tapi terlambat sudah karena telah
ku tarik tali itu. Dan apa yang terjadi?
"Brurrr.." Batu itu pun
runtuh, berserakan di hadapan kami. Membuat gaduh tempat itu. Aku hanya mengangkat
kedua bahuku sambil mengernyitkan dahi lalu menatap mereka bertiga yang
keheranan. Ternyata itu bukan jebakan melainkan itu merupakan "cheap"
yang tersembunyi untuk terus ke level selanjutnya. Permainan ini semakin
menarik untuk dilanjutkan.
"Let's go!"
Tapi, apa maksud dari semua ini?
Masih merupakan sebuah misteri.
-----
"Bukannya ini lubang yang
tadi kita datangi?" tanya Devi dengan keheranan.
"Iya, benar" lanjut
Joni.
Semua ini membingungkan. Mengapa
kami dituntun kembali lagi ke tempat ini? Tempat yang telah menghentikan
perjalanan kami beberapa waktu lalu. Aku kini benar-benar dibuat bingung. Dan
sekali lagi, nyanyian misterius itu berkumandang di telinga kami.
Tanpa sadar ku sentuh sesuatu yang
berada di belakangku dan terbukahlah sebuah pintu rahasia. Kami semua masuk ke
dalam karena ketakutan yang melanda.
"Prak..!!"
Pintu itu terkunci secara
otomatis. Kami terjebak di dalamnya. Yang penting kami bisa terlepas dari
nyanyian yang begitu menyeramkan itu. Tempatnya tidak terlalu gelap karena
cahaya mentari berhasil masuk melalui celah-celah sempit. Nyanyian itu tak terdengar
lagi. Sekarang kami menemui masalah baru. Ya, bagaimana kami keluar dari tempat
ini?
Aku menarik nafas panjang kemudian
menghembuskannya. Keringat membanjiri tubuhku. Jantungku berdetak cepat,
secepat seekor harimau yang sedang berlari. Ku coba untuk mengaturnya kembali.
Saat ku alihkan pandanganku ke
depan, ternyata, di depan kami terdapat setumpuk tengkorak dengan rangka
badannya. Terlihat tidak terurus lagi. Hal itu membuat Devi teriak histeris.
Dengan segera Joni menutup mulut Devi.
"Jangan terlalu ribut di
sini. Ntar kita dimarahi" ucap joni.
Devi mengangguk.
"Ratih...!! Apa yang kamu
lakukan?" teriakku padanya.
Sekali lagi, Ratih melakukan
sesuatu tanpa meminta persetujuan dariku sebelumnya. Sungguh terlalu!
Ratih merapikan
tengkorak-tengkorak itu. Rasa takut sama sekali tak ia tunjukkan pada kami.
Seperti sesuatu melindunginya, berupa tameng yang siap menepis semua serangan
yang akan datang. Ia menyusunnya menjadi rangka manusia yang sempurna, yang
terlihat duduk sambil memegang sebatang lilin di tangannya masing-masing.
Mungkin ini adalah maksud dari
nyanyian misterius itu. Menolong mereka yang telah tiada dengan menunjukan
perlakuan baik kepada mereka sehingga mereka bisa merasa tenang di alam baka
sana.
Kami melanjutkan perjalanan lagi, mengikuti
lorong kecil ini. Kami kemudian keluar dari semak semak belukar. Sekujur tubuh
kami langsung menjadi gatal. Aku pandangi sekitar. Ternyata kami sudah berada
di depan jalan. Rumah kami sudah terlihat di ujung barat. Sungguh menakjubkan.
Devi sudah tidak sabar lagi untuk pulang ke rumah tercinta. Begitu juga aku,
Joni dan Ratih.
Kini Ratih asyik bercerita dengan
Joni, sedangkan aku bersama Devi. Ku genggam tangannya. Terasa sesuatu yang
mengganjal. Aku merasa begitu bahagia bisa bersama dengannya saat ini. Apa lagi
di saat dia memelukku tadi. Ku ingin kejadian itu terulang kembali, tapi
suasananya tak seperti di kala itu. Aku ingin pelukan itu pertanda bahwa dia
telah jatuh dalam cintaku. Pelukan yang pertanda bahwa aku telah siap menjadi
pelindung dirinya. Devi tampak malu-malu padaku. Wajahnya memerah tomat. Aku
lalu tersenyum manis padanya.
Kini kami semua mulai mengerti
dengan semua kejadian di hari ini. Ini adalah sebuah "shortcut"
(jalan pintas) sekaligus tempat persembunyian di zaman dahulu kala. Tempat
untuk menyusun strategi perang dan melakukan penyerangan terhadap musuh.
"Nyayian itu.."
"Ternyata dugaanku benar.
Nyanyian yang berupa permohonan. Burung yang terkapar lemas sungguh menunjukkan
jalannya bagi kami."
"Tapi,,"
"Bagaimana dengan suara aneh
yang berusaha mencegah kami untuk kembali?"
"Mengapa burung kecil itu
menuntun kami kembali lagi?"
"Apa mungkin suara itu
merupakan sebuah larangan? "
"Larangan yang telah kami
langgar dan mungkin sebentar lagi akan
kami terima hukumannya?"
Aku tak tahu. Ternyata, tempat itu
masih menyimpan segudang misteri yang belum kami ketahui.
"Ratih...!!"
Teriakku sambil melepaskan
genggaman Devi dan berlari secepatnya mendapati adikku yang telah terbaring
lemas.
"Ratih, kamu kenapa?"
bahtin ku bertanya. Ku periksa adikku, ternyata jantungnya masih berdetak.
"Apa ini akibatnya karena
kami telah masuk ke zona terlarang? Ku harap tidak"
"Apa ini konsekuensinya
karena telah melakukan sesuatu yang tak seharusnya kami lakukan selama
perjalan? Mengapa Ratih tiba-tiba pingsan tanpa alasan pasti? Padahal, ia tadi
terlihat begitu gembira. Dan sekarang, ia hanya bisa tertidur di atas tanah
sambil diam membisu. Hanya detak jantung serta desahan nafasnya yang bisa
terdengar.
Ku tatap Joni, tapi Joni hanya
menggelengkan kepalanya saja. Ia juga tidak tahu penyebabnya.
"Ya, Tuhan. Apa lagi
ini?"
Aku lalu menggendong adikku menuju
rumah yang sudah berada di depan mata. Jantungku berdetak tidak menentu. Jangan
sampai sesuatu yang buruk terjadi pada adikku ini. Aku tak ingin dia
kenapa-kenapa. Aku tak henti-hentinya berdoa, berharap agar kondisi adikku
kembali seperti semula.
"Kena deh!" suara Ratih
mengejutkanku.
"Hahaha... Kakak kena tipu
muslihatku" tawa Ratih pun membumbung tinggi.
"Nggak lucu tau? Kamu itu
nakutin kakak aja!" cetusku lalu menurunkannya.
"Hahaha,, kakak khawatir ya
sama aku?" tanya Ratih, sementara mulutnya tak bisa menahan tawa.
"Bukan khawatir, tapi
khawatir banget tau? Kamu itu keterlaluan banget ya?" balasku.
Di saat begini, Ratih masih sempat
saja untuk menjahiliku. Sungguh, aku sangat kesal padanya. Tapi tak mengapa,
yang penting dia baik-baik saja. Ku lirik Joni. Ia juga tertawa terbahak-bahak
saat menatapku.
"Jadi, ini semua rencana
kalian ya?" tanyaku pada Joni. Joni hanya tersenyum. Senyum yang sungguh
mengundang emosi. Tapi bisa ku tahan.
"Emang dasar ya? Awas kalo
aku dapat" ketusku sambil mengejarnya.
Sungguh hari yang melelahkan,
tetapi kami merasa senang juga. Kami bisa merasakan sebuah pengalaman yang
berbeda. Pengalaman yang cukup menantang dan memicu adrenalin kami. Semoga
petualangan berikutnya lebih menarik.
Kami pisah di persimpangan jalan,
Devi dan Joni ke barat sementara aku dan Ratih ke arah timur. Ku ketuk pintu
lalu mengucap salam. Saat hendak mengambil sendal, ku lihat sebuah bayangan
aneh di sampingku. Dia berkata "permainan baru saja di mulai"