Selasa, 27 Mei 2014

PETUALANGAN EMPAT ORANG ANAK



"Kak, kita jalan yuk" ajak Ratih
Aku tak menghiraukannya. Aku sendiri lagi menikmati acara TV kesayanganku, yang tak pernah aku lewati satu bagian pun.
"Kakak?" panggilnya sekali lagi.
"Iya,ada apa? Kamu ganggu kakak aja. Kakak lagi serius nonton ni" balasku tanpa menatap Ratih.
"Kita jalan jalan yuk?"
"Tapi mau ke mana?" tanyaku.
"Ke mana aja kak. Ratih lagi malas di rumah. Mau ya kak?" bujuk Ratih padaku.
Aku menatapnya. Ku lihat kesungguhan niatnya pada kedua bola matanya. Aku hanya mengganggukkan kepala, pertanda bahwa aku setuju. Aku tak bisa mengelak dari rayuannya. Dia terlihat begitu senang saat mendengar jawabanku. Dia adik perempuanku satu-satunya yang paling ku sayangi.
"Ayo siap-siap kak" seruh Ratih dengan begitu semangat.
Aku lalu berkemas.
"Kita ke hutan saja ya kak?"
Ajakannya membuatku jadi bingung? Mengapa harus ke sana? Aku hanya mengeryitkan dahi saja.
"Kakak takut ya?"
"Nggak kog. Cuma kakak heran aja. Katanya mau jalan-jalan. Eh, malah kamu ajak kakak ke hutan?"
"Aku cuma ingin mencari pengalaman yang berbeda aja kak. Lagian ya, kalo kita pergi ke mall, ke pantai atau nonton itu kan sudah biasa aku lakukan. Aku pengen rasain sesuatu yang berbeda saja kak"
Aku hanya mendengar ceramahnya. Untuk kali ini aku mengiyakan. Aku dan Ratih lalu mengajak Devi dan Joni yang rumahnya tak jauh dari tempat tinggal kami. Mereka langsung setuju saja saat aku mengutarakannya. Tak butuh waktu lama, mereka berdua kembali dengan persiapan masing-masing. Kami berempat kini telah siap untuk menuju ke medan pertempuran.
------

Suara Ratih sama sekali belum terdengar selama kami menempuh perjalanan. Aku tak tahu apa yang sedang dipikirkannya sekarang. Ia sesekali memandang langit yang tampak cerah sambil menatap kiri dan kanan kami.
"Seperti seorang intel saja" gumamku dalam hati.
Devi sudah mulai kecapaian. Ku putuskan untuk berhenti sejenak. Joni kemudian menyodorkan sebotol air padaku.
"Thanks" ucapku lalu meneguknya. Cuaca hari ini cukup panas sehingga memicu dehidrasi. Kalau saja tidak membawa bekal, pasti kami sudah mati kehausan di sini.
"Kak, coba ke sini!" panggil Ratih. Aku segera berlari mendapatinya.
"Apa Ratih menemukan sesuatu?" tanya hatiku. Joni dan Devi menyusul dari belakang. Kini bola mataku seperti tertahan oleh sesuatu. Ia tak bisa ku gerakkan sama sekali. Aku hanya mampu menatap ke bawah. Kini kami semua berdiri tepat di sebuah lubang yang berdiameter 8 m dengan ketinggian mencapai 18 kaki.
"Apa ini?" tanya Devi.
Tak ada satupun yang menjawab. Semua terpaku pada tempat ini.
"Ratih, apa yang kamu lakukan?" teriakku saat melihat Ratih mencoba untuk menuruni lubang tersebut. Panggilanku sama sekali tidak membuatnya berhenti. Seakan panggilanku dijadikan motivasi untuk terus melanjutkan aksinya. Aku berlari, dengan tujuan untuk menghentikan langkahnya, tetapi dia terlampau jauh dari ku.
"Aku nggak kenapa-kenapa kak. Aku baik-baik saja di bawah sini. Kakak coba turun, dan lihat apa yang kudapat!" teriak Ratih dari bawah lubang itu.
Ajakan Ratih membuatku jadi penasaran. Apa yang ada di bawah sana? Aku menatap Joni dan Devi yang berdiri di sampingku. Joni menganggukan kepala. Sepertinya dia mengerti dengan bahasa tubuhku, tapi tidak untuk Devi.
"Aku takut!" ucap Devi sambil duduk di atas tanah yang berwarna cokelat tua karena ditutupi oleh dedaunan kering yang jatuh dari dahan pohon yang tumbuh di sekitar situ.
"Nggak apa-apa. Kan ada aku sama kak Rian." Joni coba untuk menyakinkan Devi.
"Daripada kamu sendirian di atas sini? Emangnya kamu nggak takut ya?" sambungnya.
Aku hanya berdiri mematung di belakang, memberi kesempatan untuk Joni. Berharap, ia berhasil membujuk Devi. Sebenarnya aku cemburu melihat mereka berdua dekat seperti itu. Semua itu karena aku secara diam-diam jatuh hati kepada Devi. Sudah lama sekali aku ingin menyampaikan hasrat terpendam ini. Hasrat yang menyiksa ku secara perlahan. Tapi, seakan ku tak punya nyali yang cukup untuk berbicara empat mata dengannya. Terpaksa ku urungkan semua niatku itu. Aku merasakan hembusan angin yang sepoi-sepoi serta menikmati kehangatan sinar mentari. Devi kini mulai berdiri, merapikan tubuhnya yang penuh dengan kotoran. Tampaknya Joni telah berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik. "Good job!"
-----

"Apa itu?" tanyaku
Sebuah tulisan seperti kaligrafi terlukis manis pada tubuh lubang tersebut.
"Apa artinya?"
Aku tak mengerti. Yang ku tahu itu hanyalah sebuah tulisan. Tulisan yang mungkin menunjukan misteri lubang ini. Tulisan yang mungkin merupakan petunjuk untuk menemukan sesuatu. Sesuatu yang mungkin bersembunyi di dalam lubang ini. Sebersit pertanyaan muncul begitu saja dalam benakku.
"Tempat apakah ini?" tanyaku dalam hati. Ku alihkan pandanganku ke tempat lain. Ku lihat beberapa batu berbentuk peti tergeletak setengah meter dari tempatku berdiri.
"Hei, coba lihat ini!" panggilku pada Joni, Devi dan Ratih.
"Apa ini?" tanya Joni penasaran.
"Mungkin tempat untuk menyembunyikan senjata" jawab Ratih.
"Bisa jadi" sambungku membenarkan argumen adikku.
"Kalo aku menemukan ini" ucap Devi sambil menunjukan sebuah botol kepada kami bertiga. Botol berukuran kecil dengan gambar tengkorak bertanda silang. Sepertinya sudah lama sekali. Itu terlihat dari debu yang menutupi botol tersebut.
"Ini pasti minuman beracun. Tandanya terlihat jelas sekali" seru Ratih sambil membersihkan debu yang melekat.
"Ini mungkin digunakan untuk meracuni para penjajah sebelumnya" sambung Ratih.
"Penjajah? Iya, memang benar. Ini ada hubungannya dengan penjajah" bahtinku.
Kami semua menggangukkan kepala serempak. Misteri tempat ini hampir terpecahkan oleh detektif amatiran seperti kami.
Tapi, tiba-tiba terdengar sebuah nyanyian dari dalam lubang tersebut. Nyanyian yang kedengaran asing di telinga kami. Tentu saja itu membuat kami semua takut.
"Apa ini adalah penunggu dari tempat ini? Apa kami telah mengusiknya? Semoga tidak!"
Ratih langsung memegang erat tanganku sambil bersembunyi di balik ransel hitam yang ku bawa. Sementara Devi berlari ketakutan ke arahku. Ia memeluk erat tubuhku sehingga aku sendiri sulit untuk bernapas. Di saat itu perasaanku jadi tak karuan, di antara senang atau takut. Senang karena berada dalam dekapan orang yang ku cinta, sedangkan takut akan suara misterius itu. Joni kemudian berdiri di sampingku dengan wajah yang panik juga. Nyanyian itu sama sekali belum pernah ku dengar sebelumnya. Nyanyian tersebut sepertinya ingin mengatakan sesuatu kepada kami semua yang sedang ketakutan ini. Tapi apa? Kami sama sekali tak mengerti.
"Kayaknya itu menandakan untuk kita segera pulang" bisik Devi pada kami semua.
"Iya kak!" tambah Ratih.
Aku pun mengiyakan. Begitu pula dengan Joni.
"Ada benarnya juga. Tempat ini seperti tempat terlarang. Aku seakan bisa merasakan sesuatu yang aneh di sekitar tempat ini"
Nyanyian itu masih saja terus berkumandang, seperti nyanyian yang penuh kesedihan. Nyanyian yang penuh harapan. Nyanyian yang penuh dengan misteri kehidupan. Nyanyian yang membuat orang menjadi iba sekaligus berbalik menyerang. Nyanyian yang terdengar perlahan, namun mengerikan jika di dengar terlalu lama.
Akhirnya kami tiba di atas kembali dan suara itu pun hilang dengan seketika. Sungguh aneh tapi itu lah yang kami hadapi sekarang ini. Kami semua saling menatap. Tatapan kami penuh dengan tanda tanya.
"Ada apa dengan tempat ini?"
"Ayo kita pulang" ajakku. Kali ini aku yang memimpin barisan. Ratih dan Devi kemudian berjalan mengikutiku dari belakang.
"Tidak! Sebelum aku tahu apa yang ada di peti batu itu. Aku yakin pasti ada sesuatu yang tersembunyi di sana" bentak Joni saat kami hendak meninggalkan tempat itu.
"Tapi Jon,, suara tadi telah mengirim pesan secara tidak langsung kepada kita untuk segera meninggalkan tempat ini. Ada sesuatu yang tidak beres dengan tempat ini. Ayo kita pulang Jon!"
"Sekali ku bilang tidak, ya tetap tidak!" balas Joni dengan nada tinggi. Joni bersikeras untuk ikut bersama kami. Ingin sekali rasanya aku menjitak kepalanya agar ia mau menurut. Aku kesal sekali dengan sikapnya yang satu ini.
"Aku tak akan meninggalkan tempat ini sebelum aku mengetahuinya" sambungnya lagi.
"Sh*t!" Dia benar-benar membuatku kehilangan kesabaran. Aku berlari ke arahnya sambil mengepal tanganku, bersiap untuk memukulnya.
Belum sempat ku layangkan tinjuku padanya, tiba-tiba sebuah suara lagi-lagi mengejutkan kami semua
"Woiii..!!"
Suara itu datang begitu saja tanpa permisi. Kejadiannya hampir sama saat kami berada di bawah sana. Kami tak tahu dari mana asal suara itu. Tak ada siapapun di sana, hanya kami berempat. Ku isyaratkan Joni untuk segera kembali. Kali ini ia mengikuti instruksiku dengan baik. Aku tak mau sesuatu yang buruk terjadi pada kami semua.
------

"Kak, tadi itu apaan ya?" tanya Ratih.
"Kakak juga nggak tahu pasti" jawabku.
"Yaudah, nggak usah dipikirin lagi. Yang penting kita semua baik-baik saja sekarang"
"Lain kali kalo diajak beginian, aku nggak mau ikut lagi. Aku kapok 7 turunan deh! Tau nggak, tadi tuh aku hampir ngompol" seru Devi.
Aku hampir saja tertawa saat mendengar pengungkapannya itu. Ku pandangi wajahnya yang tampak pucat pasi. Menandakan bahwa ketakutan itu masih ada dalam dirinya. Masih terlihat jelas di rona wajahnya. Sekilas tampak cantik dalam pandanganku. Ditambah dengan uraian rambut yang tertiup angin. Menggambarkan sosok wanita yang siap untuk menerima berkat. Aku tak seharusnya berpikiran begitu. Ada apa dengan diriku saat ini? Sementara itu, Joni tampak murung di sampingku.
"Hei, kamu kenapa?" sapaku
Joni tak menjawab. Ia seperti sedang merenung atau dia sedang menyusun strategi baru yang dapat membuat misteri tempat ini terkuak. Entalah.
"Brukkk!" Terdengar sesuatu. Sepertinya tak jauh dari tempat kami berada.
"Ada seekor burung yang jatuh di sini!" teriak Joni. Suaranya menggema, terpantul dari setiap batang pohon yang berdiri tegak di situ. Kami semua menghampirinya. Burung kecil yang malang. Sayapnya terluka. Mungkin terkena peluru oleh para pemburu yang ingin sekali mendapatkannya. Itu sebabnya sehingga ia tak dapat mengepakkan sayapnya dan akhirnya terjatuh. Tapi siapa pelakunya? Perasaan cuma kami berempat yang ada di sana. Kami juga tak mendengar bunyi tembakan atau semacamnya. Aneh sekali.
Di saat ingin ku sentuh burung itu, tiba-tiba saja burung itu terbakar hangus oleh cahaya matahari yang mengenai tubuhnya. Aku, Joni, Devi dan Ratih menjadi heran dengan kejadian itu. Kami mundur beberapa langkah, menjauh dari burung itu. Asapnya mengepul dan menuju sebuah batang pohon yang tak terlalu besar. Ku lihat ada tanda panah yang terlukis di sana. Apa lagi ini? Apa ini sebuah petunjuk atau jebakan? Aku tak tahu pasti. Aku kini jadi tertarik untuk mengetahuinya, begitu pula yang lain. Perasaan takut yang sedari tadi mengikuti kami sekejab hilang. Rasa ingin tahu kami begitu kuat. Kami sama sekali tidak ingat akan suara tadi yang sempat mematahkan semangat kami untuk terus lanjut. Aneh bukan? Tapi begitulah yang kami rasakan.
Tanda panah itu menghantarkan kami pada sebuah gua kecil tak berpenghuni. Sunyi sekali. Kami tak mampu melihat ke dalam karena terlalu gelap.
"Ada yang punya senter?" tanyaku
Devi kemudian memberikan kepunyaanya. Ku tatap matanya, indah sekali. Seakan ku tak mau lepas dari tatapannya. Lagi-lagi, perasaan ini muncul saat harus berhadapan dengan Devi. Seperti suatu bagian yang tak terpisahkan dari diriku.
"Kak, ayo jalan!" seru Ratih sambil menyikut perutku.
"Iya ya.." aku tersadar dari lamunan ku. Ku lihat Devi yang tersenyum melihat tingkah anehku ini.
Ku arahkan cahaya senter ke dalam gua tersebut. Ribuan kelelawar langsung menyerbu kami. Kami semua menundukkan kepala sambil bergandengan tangan. Suasananya yang tadinya tenang berubah menjadi gaduh karena teriakan kelelawar yang meminta pertolongan. Kami semua telah membuat kelelawar itu terbangun dari tidur lelapnya. Perjalanan dilanjutkan kembali. Aku tak tahu gua ini akan menuntun kami sampai di mana.
Kami menemui persoalan baru. Ya, kami menemui jalan buntu, ditutupi oleh bebatuan yang lumayan besar.
"Sepertinya tak bisa dilanjutkan" tukas Joni.
"Kita balik aja kak" ajak Devi yang mulai ketakutan.
"Tunggu! Apa ini?"
Ratih melihat sesuatu yang terselip di bebatuan itu.
Itu seperti seutas tali, lalu ku tarik.
"Jangan!" teriak Joni.
"Itu mungkin jebakan!"
Tapi terlambat sudah karena telah ku tarik tali itu. Dan apa yang terjadi?
"Brurrr.." Batu itu pun runtuh, berserakan di hadapan kami. Membuat gaduh tempat itu. Aku hanya mengangkat kedua bahuku sambil mengernyitkan dahi lalu menatap mereka bertiga yang keheranan. Ternyata itu bukan jebakan melainkan itu merupakan "cheap" yang tersembunyi untuk terus ke level selanjutnya. Permainan ini semakin menarik untuk dilanjutkan.
"Let's go!"
Tapi, apa maksud dari semua ini? Masih merupakan sebuah misteri.
-----

"Bukannya ini lubang yang tadi kita datangi?" tanya Devi dengan keheranan.
"Iya, benar" lanjut Joni.
Semua ini membingungkan. Mengapa kami dituntun kembali lagi ke tempat ini? Tempat yang telah menghentikan perjalanan kami beberapa waktu lalu. Aku kini benar-benar dibuat bingung. Dan sekali lagi, nyanyian misterius itu berkumandang di telinga kami.
Tanpa sadar ku sentuh sesuatu yang berada di belakangku dan terbukahlah sebuah pintu rahasia. Kami semua masuk ke dalam karena ketakutan yang melanda.
"Prak..!!"
Pintu itu terkunci secara otomatis. Kami terjebak di dalamnya. Yang penting kami bisa terlepas dari nyanyian yang begitu menyeramkan itu. Tempatnya tidak terlalu gelap karena cahaya mentari berhasil masuk melalui celah-celah sempit. Nyanyian itu tak terdengar lagi. Sekarang kami menemui masalah baru. Ya, bagaimana kami keluar dari tempat ini?
Aku menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya. Keringat membanjiri tubuhku. Jantungku berdetak cepat, secepat seekor harimau yang sedang berlari. Ku coba untuk mengaturnya kembali.
Saat ku alihkan pandanganku ke depan, ternyata, di depan kami terdapat setumpuk tengkorak dengan rangka badannya. Terlihat tidak terurus lagi. Hal itu membuat Devi teriak histeris. Dengan segera Joni menutup mulut Devi.
"Jangan terlalu ribut di sini. Ntar kita dimarahi" ucap joni.
Devi mengangguk.
"Ratih...!! Apa yang kamu lakukan?" teriakku padanya.
Sekali lagi, Ratih melakukan sesuatu tanpa meminta persetujuan dariku sebelumnya. Sungguh terlalu!
Ratih merapikan tengkorak-tengkorak itu. Rasa takut sama sekali tak ia tunjukkan pada kami. Seperti sesuatu melindunginya, berupa tameng yang siap menepis semua serangan yang akan datang. Ia menyusunnya menjadi rangka manusia yang sempurna, yang terlihat duduk sambil memegang sebatang lilin di tangannya masing-masing.
Mungkin ini adalah maksud dari nyanyian misterius itu. Menolong mereka yang telah tiada dengan menunjukan perlakuan baik kepada mereka sehingga mereka bisa merasa tenang di alam baka sana.
Kami melanjutkan perjalanan lagi, mengikuti lorong kecil ini. Kami kemudian keluar dari semak semak belukar. Sekujur tubuh kami langsung menjadi gatal. Aku pandangi sekitar. Ternyata kami sudah berada di depan jalan. Rumah kami sudah terlihat di ujung barat. Sungguh menakjubkan. Devi sudah tidak sabar lagi untuk pulang ke rumah tercinta. Begitu juga aku, Joni dan Ratih.
Kini Ratih asyik bercerita dengan Joni, sedangkan aku bersama Devi. Ku genggam tangannya. Terasa sesuatu yang mengganjal. Aku merasa begitu bahagia bisa bersama dengannya saat ini. Apa lagi di saat dia memelukku tadi. Ku ingin kejadian itu terulang kembali, tapi suasananya tak seperti di kala itu. Aku ingin pelukan itu pertanda bahwa dia telah jatuh dalam cintaku. Pelukan yang pertanda bahwa aku telah siap menjadi pelindung dirinya. Devi tampak malu-malu padaku. Wajahnya memerah tomat. Aku lalu tersenyum manis padanya.
Kini kami semua mulai mengerti dengan semua kejadian di hari ini. Ini adalah sebuah "shortcut" (jalan pintas) sekaligus tempat persembunyian di zaman dahulu kala. Tempat untuk menyusun strategi perang dan melakukan penyerangan terhadap musuh.
"Nyayian itu.."
"Ternyata dugaanku benar. Nyanyian yang berupa permohonan. Burung yang terkapar lemas sungguh menunjukkan jalannya bagi kami."
"Tapi,,"
"Bagaimana dengan suara aneh yang berusaha mencegah kami untuk kembali?"
"Mengapa burung kecil itu menuntun kami kembali lagi?"
"Apa mungkin suara itu merupakan sebuah larangan? "
"Larangan yang telah kami langgar dan mungkin sebentar lagi akan  kami terima hukumannya?"
Aku tak tahu. Ternyata, tempat itu masih menyimpan segudang misteri yang belum kami ketahui.

"Ratih...!!"
Teriakku sambil melepaskan genggaman Devi dan berlari secepatnya mendapati adikku yang telah terbaring lemas.
"Ratih, kamu kenapa?" bahtin ku bertanya. Ku periksa adikku, ternyata jantungnya masih berdetak.
"Apa ini akibatnya karena kami telah masuk ke zona terlarang? Ku harap tidak"
"Apa ini konsekuensinya karena telah melakukan sesuatu yang tak seharusnya kami lakukan selama perjalan? Mengapa Ratih tiba-tiba pingsan tanpa alasan pasti? Padahal, ia tadi terlihat begitu gembira. Dan sekarang, ia hanya bisa tertidur di atas tanah sambil diam membisu. Hanya detak jantung serta desahan nafasnya yang bisa terdengar.
Ku tatap Joni, tapi Joni hanya menggelengkan kepalanya saja. Ia juga tidak tahu penyebabnya.
"Ya, Tuhan. Apa lagi ini?"
Aku lalu menggendong adikku menuju rumah yang sudah berada di depan mata. Jantungku berdetak tidak menentu. Jangan sampai sesuatu yang buruk terjadi pada adikku ini. Aku tak ingin dia kenapa-kenapa. Aku tak henti-hentinya berdoa, berharap agar kondisi adikku kembali seperti semula.
"Kena deh!" suara Ratih mengejutkanku.
"Hahaha... Kakak kena tipu muslihatku" tawa Ratih pun membumbung tinggi.
"Nggak lucu tau? Kamu itu nakutin kakak aja!" cetusku lalu menurunkannya.
"Hahaha,, kakak khawatir ya sama aku?" tanya Ratih, sementara mulutnya tak bisa menahan tawa.
"Bukan khawatir, tapi khawatir banget tau? Kamu itu keterlaluan banget ya?" balasku.
Di saat begini, Ratih masih sempat saja untuk menjahiliku. Sungguh, aku sangat kesal padanya. Tapi tak mengapa, yang penting dia baik-baik saja. Ku lirik Joni. Ia juga tertawa terbahak-bahak saat menatapku.
"Jadi, ini semua rencana kalian ya?" tanyaku pada Joni. Joni hanya tersenyum. Senyum yang sungguh mengundang emosi. Tapi bisa ku tahan.
"Emang dasar ya? Awas kalo aku dapat" ketusku sambil mengejarnya.
Sungguh hari yang melelahkan, tetapi kami merasa senang juga. Kami bisa merasakan sebuah pengalaman yang berbeda. Pengalaman yang cukup menantang dan memicu adrenalin kami. Semoga petualangan berikutnya lebih menarik.
Kami pisah di persimpangan jalan, Devi dan Joni ke barat sementara aku dan Ratih ke arah timur. Ku ketuk pintu lalu mengucap salam. Saat hendak mengambil sendal, ku lihat sebuah bayangan aneh di sampingku. Dia berkata "permainan baru saja di mulai"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar